Umbu Tamu Ridi, Deputi WALHI NTT |
Pada tanggal 17 Oktober 2017, rombongan
Polisi Pamong Praja, Kepolisian Daerah Nusa Tengara Timur, dan UPT Peternakan
sekitar pukul 15.00 WITA, melalui surat yang
ditanda tangani oleh Sekertaris Daerah Nusa Tengagara Timur, Ir Benediktus Polo
Maing dengan Nomor: BU.030/105/BPPKAD/2017 tertanggal 17 Oktober 2017, Perihal:
Penegasan Tentang Tanah Instalasi Besipae Milik Pemerintah Provinsi NTT,
mendatangi masyarakat adat Pubabu dengan tujuan memberikan surat untuk
mengosongkan lahan dan memaksa masyarakat adat Pubabu untuk menandatangani
surat pengosongan lahan.Rombongan yang datang juga membawa Sertifikat Hak Pakai
Nomor: 00001/2013-BP,794953, tanggal 19 maret 2013 dengan luas tanah 37.800.000
M2 bahwa tanah tersebut adalah tanah Pemerintah Provinsi Nusa Tengagara Timur.
Sebagaimana yang
telah tertera bahwa tahun terbit Sertifikat Hak Pakai adalah tahun 2013, yang
sebenarnya terjadi pada tahun itu adalah Dinas Peternakan Provinsi dipaksa oleh
masyarakat adat Pubabuuntuk mengosongkan tanah/hutan adat Pubabu yang dikontrak
dari masyarakat adat Pubabu. Masyarakat memaksa untuk mengosongkan lahan/hutan
adat Pubabu atas dasar surat ketiga Komnas HAM yang menegaskan bahwa Dinas
Peternakan segara mengosongkan lokasi agar tidak menggangu aktivitas masyarakat
adat Pubabu.
Persoalan yang sempat memanas pada tanggal 17
Oktober 2017 ini tidak seharusnya terjadi apabila Sekertaris Daerah Ir
Benediktus Polo Maing menghargai proses penyelesaian hutan adat Pubabu yang
dimediasi oleh Wakil Gubernur, Drs Benny Litelnoni, Msi. Hasil
hearing/pertemuan yang dimediasi Wakil Gubernur pada bulan Oktober 2016, Desember
2016, dan terakhir pada tanggal 25 januari 2017 menyepakati, untuk kepentingan
pembangunan proyek peternakan, Wakil Gubernur berjanji untuk membentuk tim mediasi
yang akan mendiskusikan tentang lokasi pembangunan proyek Dinas Peternakan
Provinsi di luar lokasi hutan adat Pubabu.
Pertanyaannya, apakah
SEKDA NTT yang baru ini mengetahui dan memahami bila ada proses mediasi yang
dilakukan Wakil Gubernur NTT? Bukankah seharusnya yang datang adalah tim
mediasi bukan tim ekseskusi sebagaimana dijanjikan wakil gubernur. Sekertaris
Daerah malah melakukan hal yang sebaliknya juga. Bukannya mendiskusikan tentang
pemindahan lokasi peternakan dari hutan adat Pubabu ke tempat lain, tetapi
datang dan mengklaim bahwa hutan adat tersebut adalah tanah milik pemerintah.
Dalam hal ini, WALHI NTT menilai bahwa SEKDA Ahistoris dengan persoalan ini.
Berikutnya, SEKDA NTT
telah melakukan tindakan arogan atau mentang-mentang. Langkah ini menunjukan
langkah mundur pelayanan masyarakat. Bagaimana mungkin Wakil Gubernur telah
menunjukan langkah persuasif dan berdialog dengan warga. Namun pada saat yang
lain, SEKDA justru melakukan tindakan tanpa dialog dan sama sekali tidak
membuka ruang aspirasi. Bagi WALHI NTT tindakan SEKDA merupakan tindakan yang
arogan. Sikap tidak menghargai proses yan dimediasi oleh Wakil Gubernur NTT
untuk jalan keluar terbaik dengan mengeluarkan surat eksekusi jelas jelas
keluar dari azas demokrasi yang baik dan nilai nilai Good Governance
Sikap
Walhi NTT
Didasari atas proses yang telah berlangsung
baik sebelumnya dan dirusak oleh kedatangan Tim Propinsi untuk melakukan
eksekusi maka kami bersikap,
1.
Mengecam
sikap Sekretaris Daerah Ir Benediktus Polo Maing yang Ahistoris, Arogan atau tidak
menghargai mekanismemediasi yang dilakukan oleh Wakil Gubernur bersama
Masyarakat Adat Pubabu
2.
Meminta
Sekretaris Daerah untuk segera berkoordinasi dengan Wakil Gubernur atas proses
mediasi yang telah dilakukan.
3.
Meminta
Sekretaris Daerah NTT untuk melakukan dialog ulang dengan masyarakat adat
4.
Meminta
Sekretaris Daerah untuk tidak lagi mengulang sikap Ahistoris dan Arogan pada
masyarakat atas nama pembangunan.
5.
Meminta
agar proses rencana eksekusi dan surat eksekusi dibatalkan
6.
Menegur
bawahannya untuk tidak melakukan tindakan paksa dan menghentikan segala bentuk intimidasi
kepada masyarakat adat Pubabu.
7.
Meminta
DPRD Propinsi NTT untuk memanggil SEKDA NTT untuk mempertanyakan kebijakan
SEKDA NTT dan meminta penghentian upaya eksekusi pengosongan lahan.
8.
Meminta
Gubernur NTT untuk melakukan teguran dan memerintahkan untuk pembatalan surat
SEKDA NTT Nomor: BU.030/105/BPPKAD/2017 tertanggal 17 Oktober 2017, Perihal:
Penegasan Tentang Tanah Instalasi Besipae Milik Pemerintah Provinsi NTT. WALHI
menilai surat tersebut tidak berlandaskan azas Demokrasi dan nilai nilai Good
Governance
9.
Mendesak
Pemerintah Provinsi termasuk DPRD untuk merancang Perda yang mengakui
keberadaan masyarakat adat dan hak-hak masyarakat adat yang salah satunya
adalah hutan adat, sesuai dengan Putusan MK 35 atas perkara 35/PUU-X/2012.
Kontak:
Umbu Tamu Ridi, SH. /Deputi WALHI NTT (082342339061)
Dominikus Karangora/Koordinator Pengorganisasian
dan Wilayah Kelola Rakyat (085858266562)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar