Minggu, 17 Januari 2016

KEKERINGAN: AKUMULASI KERUSAKAN ALAM

Bersahabat dengan ancaman adalah pilar utama yang membangkitkan optimisme manusia dalam menghadapi bencana. Kekeringan pun dilihat sebagai sebuah ancaman yang tidak perlu dirisaukan, melainkan dijadikan refleksi dan evaluasi terhadap kualitas ekologi.  Prinsipnya kemampuan masyarakat melebihi ancaman, resiko bencana menjadi kecil seiring meningkatnya kapasitas masyarakat terhadap bencana. Sebaliknya, bencana membawa keraguan publik bila kapasitas dirinya sangat rendah dibanding dengan ancaman yang dihadapi. Untuk itu dibutuhkan penanggulangan bencana yang inheren dan koheren dengan berbasis pada analisis asset penghidupan; manusia, alam, fisik, sosial dan finansial. Kelima aset penghidupan hendaknya dipersiapkan dalam menghadapi kondisi kedaruratan yang timbul.

Paradigma penanggulangan bencana yang bernuansa tanggap darurat mestinya diubah menjadi Pengurangan Resiko Bencana. Atau diungkap dalam sebuah adagium “lebih baik diobati daripada disembuhkan”. Berarti upaya preventif lebih mujarab dibanding dari upaya kuratif. Begitupun dalam konteks kebencanaan, masyarakat semestinya dipersiapkan secara dini dipersiapkan sebelum datangnya bencana.

Analisis risiko didasarkan pada peningkatan kesadaran dan pendidikan publik, tinjauan tentang ciri-ciri teknis bahaya, seperti: merubah sikap dan perilaku terkait dengan lokasi, dampak kerusakan, frekuensi dan pengurangan risiko bencana berperan dalam kemungkinan, serta diaksentuasikan pada analisis tentang meningkatkan suatu “budaya pencegahan”. Aspek fisik, sosial dan ekonomi dari kerentanan investasi bencana dan cara-cara biaya/manfaat, tindakan-tindakan sekaligus memberi pertimbangan khusus pada Pengelolaan risiko bencana.

Berbagai kajian sektoral perlu dilakukan dalam bidang pertanian, transportasi, pendidikan, kesehatan maupun usaha kecil dan menengah. Kajian-kajian ini harus disertai penilaian risiko bencana, termasuk analisis dampak bencana di masa lalu. Kerentanan infrastruktur sosial dan fisik, serta implikasi risiko bencana terhadap pembaruan dan perubahan-perubahan struktural yang tengah dijalankan. Kajian-kajian ini juga harus menjelaskan tindakan-tindakan yang perlu dilakukan untuk mengurangi risiko, termasuk penyesuaian tujuan-tujuan dan kegiatan lain yang direncanakan.

Dari pemahaman ini, bio-regional NTT yang berkarakter kepulauan dan termasuk kawasan ring of fire. NTT juga memiliki banyak pulau yang gersang, terkecuali wilayah Maggarai. Malah di beberapa tempat di Pulau Timor, Sumba dan Flores memiliki keterbatasan air. Iklan “sumber air su dekat, kotong tidak terlambat lagi adalah sebuah ungkapan yang ironis bagi masyarakat Timor.
Di tengah krisis ekologi, pemerintah provinsi NTT dan pemerintah kabupaten mengeluarkan banyak Ijin Usaha Pertambangan. Kebijakan ini dinilai tidak sinkron dengan paradigma pengurangan resiko bencana.

Upaya perlindungan ekologi hendaknya menjadi suatu hal yang tidak bisa ditawar. Proses pemulihan ekologi melalui perluasan wilayah kawasan penyanggah dan perbaikan atas sistem pertanian berkelanjutan perlu mendapat perhatian serius pemerintah. Tidak ada artinya bila setiap kabupaten sudah dihiasi dengan BPBD dan program penanggulangan bencana tetapi proses penggerukan alam (pertambangan) oleh Dinas Pertambangan dan Energi melalui tindakan eksploitasi terus dilakukan. Argumentasi dasarnya adalah peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Ini adalah sebuah kebijakan yang tidak sinergis. Kiat pemulihan ekologi menjadi semu dan harapan akan peningkatan PAD menjadi absurd.

Padahal, banyak kearifan lokal di NTT bernuansakan perlindungan bumi dan pengurangan risiko bencana diakomodir dalam kebijakan pemerintah. Tidak akan mengurangi otoritas pemerintahan di NTT bila kearifan itu diakomodir dan diselaraskan dengan kebijakan pemerintahan. Apalagi, mayoritas petani NTT dan berbagai mata pencaharian lainnya masih bergantung pada kondisi keseimbangan ekologi. Diyakini penciptaan iklim mikro dapat memperbaiki pendapatan mayoritas penduduk NTT yang masih sangat bergantung pada alam.
   
Perubahan Iklim dan Dampaknya terhadap Petani
Perubahan iklim, climate change adalah suatu perubahan statistik yang signifikan pada pengukuran keadaan rata-rata atau ketidakkonsistenan iklim di suatu tempat atau daerah selama periode waktu yang panjang, yang diakibatkan baik secara langsung maupun tidak langsung oleh dampak kegiatan manusia pada komposisi atmosfer global atau oleh ketidakkonsistenan alam.
Perbincangan perubahan iklim menjadi interest para pihak di berbagai level, mulai dari konfrensi tingkat tinggi pemerintah antar negara, tingkat nasional dan daerah, bahkan sampai pada tingkat perbincangan masyarakat sehari-hari. Kesadaran para pihak akan pentingnya menyusun kebijakan, strategi dan tindakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim serta dampaknya semakin dirasakan. Perubahan iklim pun ditenggarai berkontribusi pada peningkatan frekwensi dan intensitas ancaman/bahaya bencana yang terkait iklim (climate related hazards) seperti banjir, longsor, kekeringan, gelombang panas, badai, kebakaran, dll yang berujung pada meningkatnya risiko dan dampak bencana.

Bencana banjir, kekeringan, badai, longsor dan kebakaran hutan telah menyebabkan banyak kehilangan nyawa manusia dan penghidupan terkait dengan iklim, serta hancurnya ekonomi dan infrastruktur sosial dan kerusakan lingkungan. Di banyak tempat di dunia, frekuensi dan intensitas bencana ini cenderung meningkat (Sivakumar, 2005). Banjir dan badai mengakibatkan 70% dari total bencana dan sisanya 30% diakibatkan oleh kekeringan, longsor, kebakaran hutan, gelombang panas, dan lain-lain.

Dari pemahaman ini, tentunya yang sangat merasakan dampaknya adalah petani. Karena petani masih bergantung pada kondisi alam dan musim yang terjadi. Lamanya musim panas pada tahun 2015 ini sedang menjadi fakta empiris yang harus direfleksi berbagai pihak. Akibat keserakahan sekelompok manusia telah menjerat petani dalam lilitan permasalahan pertanian terutama tidak stabilnya musim dan munculnya berbagai hama bagi tumbuhan di kebun petani. Bukan hanya itu, rantai distribusi produk kebun yang panjang membuat hasil produksi petani menjadi murah. Tak heran secara ekonomi, petani hanya dibanggakan sebagai soko guru ekonomi indonesia yang terus dililit kemiskinan dan utang.

Solusi Mitigasi Perubahan Iklim
Disadari atau tidak, perubahan iklim telah terjadi akibat berbagai permasalahan krisis lingkungan. Akar masalahnya, Pemeritan Provinsi NTT dan Pemkab se-NTT belum maksimal mencermati kebijakan pengurusan sumberdaya alam.

Pengurusan sumberdaya alam lebih dikedepankan kepentingan ekonomi daripada kepentingan ekologi, sosial dan budaya. Akibatnya, kelompok tertentu saja yang menguasai keuntungan pengelolaan sumberdaya alam. Hak Pengelolaan Hutan (HPH), Kontrak Karya Pertambangan, Hak Pengelolaan Pesisir dan Perikanan (HP3) sebagai mekanisme formal untuk mengeksploitasi sumberdaya alam mulai dari pegunungan, hutan, perkebunan, pemukiman, pesisir, dan laut atas nama investasi. Padahal, disinyalir bahwa bencana rentan terjadi di daerah-daerah krisis ekologi (akibat tindakan ekstraktif masyarakat dan pemerintah).

Mengantisipasi bencana di NTT, pemerintah perlu melakukan mitigasi pada kawasan-kawasan daerah ekologi genting akibat tindakan ekstraktif pemerintah misalnya melalui perijianan penebangan yang tidak terkontrol secara baik dan perijinan pertambangan. Selain itu, dilakukan pendidikan ekologi bagi rakyat agar terus membangun kultur cinta lingkungan. Ini bukan hal baru. sebab secara historis, hampir seluruh kepercayaan lokal itu bernuansa kosmosentris artinya percaya pada kekuatan alam. Alam dihormati sebagai sumber penghidupan yang harus dilestarikan. Namu ini kemudian termakan oleh virus penumpukan modal bagi segelintir orang yang menjadikan alam sebagai objek untuk dikeruk demi akselerasi pembangunan.

Untuk itu, pemerintah provinsi dan kabupaten di NTT dituntut serius untuk melakukan pemulihan ekologi dengan melakukan penghijauan dan menghindari berbagai aktivitas perusakan lingkungan yang berdampak pada bencana. Selain itu, pemerintah perlu melakukan pendidikan kesiapsiagaan bencana di kawasan yang diidentifikasi sebagai daerah rentan. Misalnya; kawasan gunung api, kawasan hutan dan sungai dan berbagai daerah rentan lainnya. Hanya dengan jalan itu, rakyat dipersiapkan untuk selalu siaga bencana.

Tidak ada komentar:

<marquee>WTM LAKUKAN VAKSIN AYAM DI 3 KELOMPOK TANI DI EGON GAHAR</marquee>

Ansel Gogu (Kader Tani WTM) sedang Vaksin ayam anggota Kel. Tani Egon Gahar, KN , Dalam rangka mendorong sebuah pola budi daya ternak t...