Jumat, 07 Oktober 2016

POTRET SUMBER MATA AIR DAN ANALISANYA DI WILAYAH KECAMATAN MAGEPANDA, MEGO DAN TANAWAWO

Oleh: Herry Naif

 Air menjadi sebuah kebutuhan yang tak terpisahkan dari manusia dan semua makhluk hidup yang lain. Air menjadi unsur hakiki. Tiada kehiduapan tanpa air. Kebutuhan akan air terus meningkat dari waktu ke waktu. Seiring dengan itu pula, banyak sumber mata air yang mengalami penurunan debit akibat rusaknya kawasan tangkapan air (water scatchman area). 
Beberapa dasawarsa lalu, krisis air adalah masalah perkotaan sebab di sana banyak jumlah penduduk dan banyak lahan dikonversi. Kini, kelangkaan air tanpa mengenal sekat wilayah, baik di daerah kota maupun daerah hulu sekalipun. Belum lagi perampasan air dari perusahaan-perusahan pun kian meningkat, setelah adanya privatisasi air yang terurai dalam Undang-Undang Sumber Daya Air Nomor 7 Tahun 2004, yang mana secara prinsipil mengatur tentang hak guna pakai air dan hak guna usaha air. Itu berarti bahwa dalam undang-undang tersebut mencuatkan kontroversi tentang hak guna usaha air yang dapat diberikan kepada perseoangan atau badan usaha dari pemerintah daerah. Ini seakan memantik kontroversi tentang monopoli atau penguasaan air sebagai salah sumber daya alam yang sebetulnya merupakan kebutuhan dasar manusia. 
Keterlibatan sektor swasta dalam investasi air akan memperparah upaya pemenuhan kebutuhan air bagi rakyat yang populasinya terus bertambah, sedangkan jumlah debit air berbanding terbalik dimana debit air semakin menurun seturut kerusakan lingkungan terutama daerah-daerah kawasan tangkapan air. 
Dalam konteks kabupaten Sikka, terutama di kecamatan Mego, Magepanda dan Tanawawo belum mengalami eksploitasi air oleh perusahaan tetapi permasalahan air menjadi krusial. 
Karena itu, Wahana Tani Mandiri melihat bahwa permasalahan air tanpa mengenal sekat ruang. Kondisi ini sangat terasa pada tahun 2016 di Sikka mengalami musim kemarau/musim panas yang mana banyak mata air menjadi kering dan berdampak pada tanaman pertanian dan tanaman umur panjang petani pun mengalami kematian/kekeringan. Suatu pengalaman yang dilihatnya sebagai fenomena alam yang ekstrim. 
Menjawabi fenomena alam tersebut, WTM dalam kerja samanya dengan Misserio dalam Program “Penguatan Kapasitas Masyarakat Tani Adaptasi Perubahan Iklim lewat Pendekatan Usaha Tani Berbasis Konservasi” (2014 – 2016) memfokuskan diri pada penyelamatan ekologi melalui sebuah model pengelolaan pertanian yang berbasis konservasi. 

POTRET KONDISI MATA AIR DI WILAYAH DAMPINGAN 
Untuk mengetahui kondisi perkembangan kondisi mata air di setiap wilayah dampingan WTM terutama di 3 Kecamatan, yakni: Magepanda, Mego dan Tanawawo dilakukan pengidentifikasian mata air di setiap wilayah desa terutama kelompok tani yang didampingi untuk mengetahui sejauhmana yang dilakukan para pihak dalam merespon kondisi tersebut. 
Dari hasil pengidentifikasian sumber mata air di ketiga kecamatan tersebut kemudian dilakukan analisa untuk mengetahui secara pasti kondisi riil dari sumber-sumber mata air yang ada. Dari analisis yang dilakukan WTM, seperti tergambar dalam grafik kondisi mata air ditemukan bahwa yang masih memiliki kondisi lingkungan hidup yang masih baik adalah wilayah Mego dan Tanawawo. Sedangkan wilayah Magepanda dinilai sudah pada tingkatan krisis ekologi. 
Namun, wilayah Magepanda diuntungkan secara geografis karena berada dikawasan hilir yang mana mendapatkan manfaat dari kondisi lingkungan di kawasan hulu, yakni: Mego dan Tanawawo. Sebab dengan data tersebut, WTM dan berbagai pihak yang berkewenangan secara pasti bisa menentukan model advokasi dan intervensi apa yang dilakukan dalam penyelamatan ekologi. Dari data yang dikumpulkan WTM dapat dilihat, bahwa ada 136 sumber mata air, dengan total luasan kawasan tangkapan air 203,75 Ha. Bila dirata-ratakan maka setiap mata air memiliki luasan 1,4 Ha. Itu berarti bahwa jumlah luasan kawasan tangkapan air masih sangat kecil dalam memberi jaminan akan pemenuhan kebutuhan air, apalagi diperparah oleh kondisi kualitas lingkungan hidupnya. 
Dengan demikian, dapat dilihat bahwa kondisi ekologi sedang mengalami penurunan kualitas yang akan berdampak pada penyediaan air. Apabila kita coba melihat kondisi riil setiap wilayah kecamatan dan desa, kita tentunya memiliki beberapa pertanyaan dasar? Apakah kondisi lingkungan dan sumber mata air masih bisa menjamin kebutuhan warga? Ataukah akan terjadi hal yang paling buruk dimana warga akan mengalami keterdesakan air yang lebih parah dari sekarang. 

KECAMATAN MAGEPANDA 
Kecamatan Magepanda adalah salah satu wilayah penghasil beras, karena memiliki dataran persawahan yang cukup luas. Kondisi ini menjadikan kecamatan Magepanda sebagai salah satu gudang beras (pangan) di kabupaten Sikka. Tidak heran bila Magepanda semestinya menjadi wilayah harus mendapatkan perhatian lebih kepada bagaimana mengelola persawahan yang ada. Dari data terlihat bahwa wilayah desa Done yang memiliki kawasan hutan (13, 25 ha), Reroroja (11,50), Magepanda (2,50 Ha) dan Kolisia (1,50 ha). Dari kacamata luasan wilayah Done lebih luas dari ketiga desa lainnya, tetapi dari data kondisi mata air yang ada, wilayah Done memiliki 6 sumber mata air yang kering dari 11 sumber mata air. Pastinya muncul pertanyaan, mengapa demikian? Sedangkan bila dilihat dari logika tentunya tidak benar. Tetapi secara analisis kami melihat dari letak geografis yang mana wilayah Done itu berada di lembah yang masih memiliki ketinggian lebih dari ketiga wilayah lainnya. Bahwa kawasan tangkapan air yang ada itu berkontribusi kepada sumber mata air yang berada di bawa seperti Magepanda dan Kolisia. Dari analisis kawasan mata air di kecamatan Magepanda, dapat dilihat dalam kacamata ekologi secara jelas tergambar bahwa daerah hulu adalah penyumbang air bagi kawasan hilir, seperti tergambar Magepanda (2,50 ha) dan Kolisia (1,50 ha) memiliki sedikit kawasan tetapi mereka memiliki ketersedian air jauh lebih baik dari wilayah Done.

KECAMATAN MEGO 
Kecamatan Mego merupakan wilayah kecamatan yang memiliki kawasan pengunungan dan pesisir. Wilayah Mego memiliki dataran persawahan yang kurang luas dibanding wilayah Magepanda. Namun dipotret dari data luasan kawasan tangkapan seluas 157, 25 ha, lebih luas dibanding dengan Tanawawo dan Magenpanda. Sedangkan dalam konteks wilayah desa, Napugera memiliki luasan (123 ha) yang lebih luas dibanding dengan wilayah desa lainnya. Yang memiliki luasan kawasan tangkapan yang kecil adalah Dobo (1 Ha) dan Korobhera (1,25 Ha). (Lih. Tabel. 3) Sedangkan, wilayah Korobhera adalah wilayah pesisir dan berada di dataran rendah dan menjadi kawasan hilir dari Kaliwajo yang tentunya mendapatkan banyak air sehingga dapat dimanfaatkan untuk mengairi persawahan. Mayoritas penduduk wilayah Dobo adalah petani lahan kering. Malah, daerah ini menjadi daerah yang setiap tahun mengalami keterbatasan air karena sangat bergantung pada sumber mata air yang teradapat di wilayah Dobo Nuapu’u. 

KECAMATAN TANAWAWO 
Kecamatan Tanawawo merupakan wilayah kecamatan yang terletak kawasan pengunungan. Kendati demikian, di wilayah ini terdapat areal persawahan yang secara sporadis, di daerah-daerah pinngir kali/suangai. Wilayah persawahannya tidak seluas wilayah Magepanda dan Mego. Bila dilihat dari data luasan kawasan tangkapan di kecamatan Tanawawo. wilayah desa Bu Selatan memiliki luasan (4 Ha) yang lebih luas dibanding dengan wilayah desa lainnya. Yang memiliki luasan kawasan tangkapan yang kecil adalah desa Poma (1 Ha). Dari data yang ada kita melihat bahwa upaya penyelamatan lingkungan hidup terutama kawasan tangkapan air masih sangat kecil. Tetapi secara umum dilihat bahwa kondisi mata air di wilayah Tanawawo masih memiliki kondisi yang baik dimana dari 42 sumber mata air yang terdata, ternyata 64,29 % masih stabil. Artinya bahwa kondisi mata airnya stabil sekalipun pada musim kemarau atau musim panas. 

KETERLIBATAN PARA PIHAK DALAM MENGHADAPI KRISIS EKOLOGI 
Jawaban atas kian buruknya kondisi lingkungan terutama kawasan tangkapan air kemudian mendorong para pihak untuk terlibat dalam penyelamatan kawasan dan pemulihan lingkungan. Untuk melihat respons tersebut, kami mencoba membuat grafik keterlibatan para pihak di wilayah Magepanda. Dari grafik yang ada, digambarkan bahwa keterlibatan lembaga-lembaga sosial (LSM) jauh lebih tinggi dibanding dengan pemerintah. Itu berarti bahwa kebijakan penyelamatan kawasan tangakapan air belum direspons secara serius oleh negara/pemerintah. Padahal itu salah satu tugas negara untuk melindungi sumber-sumber penghidupan rakyat (air). 

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Dari telaahan beberapa data, disimpulkan bahwa upaya penyelamatan lingkungan harus terus digalakan dalam berbagai wujud kegiatan. Kesadaran ekologis mulai tumbuh kembang dalam masyarakat di 3 kecamatan ini agar proses pemulihan dan penyelamatan dilakukan itu dilakukan atas inisiatif mereka sendiri. Bukan bergantung pada pihak lain. Karena itu, advokasi penyelamatan ekologi itu harus sampai pada: • Pembagian tata ruang yang mana dialokasikan untuk kawasan tangkapan air itu dipulihkan dan dilindung; • Adanya peraturan desa yang mengatur tentang perlindungan kawasan tangkapan air dan adanya sebuah sistem pengelolaan sumber daya alam yang berpihak pada penyelamatan ekologi • Didorong keterlibatan para pemangku adat dalam upaya pemulihan dan penyelamatan lingkungan • Mendorong pertanian yang berbasis pada konservasi

Tidak ada komentar:

<marquee>WTM LAKUKAN VAKSIN AYAM DI 3 KELOMPOK TANI DI EGON GAHAR</marquee>

Ansel Gogu (Kader Tani WTM) sedang Vaksin ayam anggota Kel. Tani Egon Gahar, KN , Dalam rangka mendorong sebuah pola budi daya ternak t...