Senin, 23 Oktober 2017

MENEROPONG DISKRIMINASI PEMBANGUNAN KOTA DAN DESA

Koordinator Program WTM-CEPF
Pembangunan tidak mengenal batas ruang wilayah dan waktu atau lintas-batas. Perwujudan ruang yang aman, nyaman dan produktif dibedakan berdasarkan pendekatan sistem, fungsi utama kawasan, wilayah administrasi. Kegiatan kawasan dan nilai strategis kawasan dalam mendukung pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan. 
Pembangunan sentralistik selama ini menjadi primadona pada faktanya telah banyak menimbulkan diskriminasi sosial antara kaya dan miskin, diskriminasi antara daerah dan diskriminasi antara kota dan desa. 
Kota dinilai terlampau penting, sehingga patut dibentengi. Dan wilayah pedesaan harus menyuplai kebutuhan warga kota. Wilayah pedesaan hanya mendapat sentuhan sejauh memberi kontribusi untuk kota. 
Dengan demikian, pembangunan kota dan desa  selama ini tumbuh dalam diskriminasi.  
Kota sebagai pusat pertumbuhan seakan tumbuh “mengenyampingkan” keberadaan desa. Sedangkan desa berjalan dengan alur kembang yang lambat, bahkan stagnan. Kondisi tersebut memunculkan berbagai persoalan, salah satunya; terjadinya urbanisasi yang massif yang tidak sebanding dengan perkembangan industri di kota. Kota bagai lambang mercusuar yang patut mendapat perhatian semua orang dan punya alasan untuk mendapat dukungan dari semua wilayah.  
Ketimpangan hasil-hasil pembangunan desa dan kota  berakibat buruk secara sosial dan ekonomi terhadap kehidupan kedua wilayah tersebut. 
Kota terus mengalami kepadatan penduduk yang semakin tinggi, sebaliknya desa yang masih bertumpu pada pola ekonomi pertanian tradisional justru kehilangan sumber daya produktif karena penduduk desa yang berpotensi sebagian besar dari mereka pindah ke kota, karena kota dipandang relativ memiliki peluang ekonomis. 
Sebuah pertanyaan kritis serentak menggugah; mengapa terjadi pergerakan penduduk dari desa ke kota?
Pertama, faktor pendorong, push factors, yang mengharuskan masyarakat berpindah ke kota untuk mencari nafkah kehidupan yang lebih baik. Fakta ini hampir terjadi di seantero Nusantara. 
Ketimpangan yang menyolok antara pembangunan di desa dan kota yang mana Kehidupan kota  sebagai pusat pertumbuhan ekonomi berjalan sangat cepat yang mampu merubah gaya hidup dan perilaku masyarakat kota pada kehidupan yang lebih nyaman. 
Kedua, Faktor penarik, Pull factors, merupakan sebuah situasi dimana membuat daya tarik kota menjadi kuat untuk mengundang hadirnya penduduk pedesaan datang ke perkotaan. 
Sambungan Hal. 2
Itu berarti desa semakin kehilangan tenaga kerja dan mereka yang berpotensi. Tidak heran bila pembangunan di desa sangat lambat, cenderung tidak demokratis dan tidak dapat memberikan pendapatan secara cepat dan langsung membuat perekonomian desa semakin rapuh. Tidak dapat dielakkan juga bahwa percepatan mekanisme ekonomis, gerak cepat pengetahuan dan informasi di kota jelas akan mengalahkan pertumbuhan di pedesaan. 
Dari sini muncul ketimpangan pertumbuhan kota dan desa yang semakin mencolok. Di sisi lain, kota memiliki visi modern dan dinamis, sedangkan desa karakternya lamban dan tradisional. 
Situasi yang penting diretas, untuk meretas kondisi timpang tersebut dibutuhkan bukan sekedar kebijakan namun juga strategi yang sesuai dengan karakter alam dan masyarakat setempat.
Salah satunya yang mungkin penting digagas adalah bagaimana menumbuhkembangkan demokratisasi di desa dan kota sebagai mesin produk pemimpin visioner dan berkemampuan? 
Pembangunan kota dan desa harus dibangun atas dasar hubungan simbiosis mutualisme kepentingan, dimana kota sebagai pusat pertumbuhan akan memacu pertumbuhan desa, dan desa dapat menjadi penyangga bagi pertumbuhan kota. Dan, bagaimana tata kepemimpinan di kedua wilayah tersebut dapat berjalan efektif dalam upaya mendorong perubahan ke arah yang lebih baik. Dengan demikian desa dapat berjalan sebagai ruang kehidupan sebagaimana layaknya sebuah kota. 

Demokrasi, Kepemiminan dan Agenda Perubahan
Sejak dibukanya katup demokrasi, seolah memberikan kesempatan secara terbuka kepada seluruh rakyat untuk ambil bagian  dalam pentas politik justru belum membuahkan hasil, bahkan semakin memunculkan berbagai permasalahan baru. Salah satunya; menguatnya politik transaksional dan terbangunnya sentimen etnis serta membuka peluang kebangkitan sistem kepemimpinan tradisional. 
Otonomi Daerah sebagai produk desentarlisasi bertujuan membuka ruang demokrasi secara teoritis sering dibayangkan sebagai kondisi yang diperlukan bagi efektifitas pembangunan, terutama pembangunan desa. 
Desentralisasi dan demokrasi akan membuat aparat Negara lebih terbuka dan akuntabel sehingga lebih tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi lokal. Namun hubungan antara desntarlisasi-demokrasi dengan peningkatan kualitas hidup masyarakat tidak seluruhnya jelas, sebab belum ada bukti yang meyakinkan yang dapat menjelaskan bagaimana desentalisasi-demokratisasi dapat menanggulangi ketimpangan pertumbuhan antara desa dan kota.
Sebuah paradoks demokrasi yang mengancam nilai-nilai luhur demokrasi itu sendiri dan Integritas ke-Indonesiaan. Apa yang salah? Apakah sistem ekonomi-politik yang dijalankan tidak sesuai dengan karakter ke-indonesiaan. Ataukah integritas ke-Indonesiaan pemimpin yang kropos dan tidak mengerti tentang kebiasaan-kebiasaan Indonesia, potensi dan entitas rakyat Indonesia yang bermukim di kota dan desa dalam bentang kepulauan yang terbagi secara alamiah dalam kawasan-kawasan yang memiliki potensi khas masing-masing? Ataukah sistem demokrasi yang aplikatif seharusnya dapat menjadi media evaluasi kerja-kerja perubahan tidak sesuai dengan karakter alam dan masyarakat Indonesia?. 
Demokrasi adalah suatu keniscayaan dalam bingkai perubahan sosial, dengan memilih suatu sistem demokrasi yang sesuai dengan karakter dan kondisi obyektif, yang tidak mengutamakan pendekatan formal-administratif namun disarikan dari kondisi obyektif alam dan masyarakat. 
Ciri sistem demokrasi yang tegas adalah para pemimpin (pembuat kebijakan) di bawah “effective popular control‟ oleh komunitas (warga) di wilayah kekuasaannya. Inilah yang mungkin disebut sebagi partisipasi, karena mengandung dimensi hak akses dan kontrol terhadap tata kepemimpinan dan tatakelola organisasi sehingga dalam proses dinamika sehari-hari lebih akuntabel, transparan, dan responsif serta mengakomodir aspirasi menjadi buah kebijakan melalui mekanisme formal partisipasi rakyat; musyawarah pembangunan desa (musrenbangdes) dll.
Demokratisasi bukan sekedar pendelegasian kewenangan atau hanya sekedar penentuan pendapat yang dilakukan secara bersama-sama. Demokratisasi memerlukan sebuah tata kelola yang mumpuni sehingga dapat menjadi mesin cipta yang melahirkan kelompok pemimpin yang berkesadaran kritis dan memiliki kemampuan yang aplikatif. 
Selama ini, praktek tata kepemimpinan baik di LSM maupun pemerintahan (institusi Negara) seakan kehilangan arah dan disorientasi. 
Demokrasi seharusnya menjadi mesin produksi kelompok pemimpin visioner, humanis dan berkemampuan dalam berbagai bidang justru tidak dapat berjalan secara baik karena sering kali dibatasi oleh sistem hirakis dan kontrol birokrasi. Atau kepentingan mempertahankan kekuasaan dari pemimpin menjadi biang kerok dalam meracuni nilai-nilai demokrasi itu sendiri.
Cita-cita melahirkan kelompok pemimpin yang sungguh membawa perubahan justru sebaliknya mereproduksi tata kepemimpinan yang kembali menegakkan sistem ekonomi-politik-kebudayaan berbasis individualism, sehingga tidak dapat meretas ketimpangan antara kaya-miskin serta kota- desa. 
Fakta-fakta yang terjadi ini semestinya menjadi pembelajaran bersama dalam menemukan sebuah model demokrasi lokal yang dapat melahirkan pemimpin dalam menjawabi permasalahan dan kebutuhan rakyat di wilayah itu, bukannya menjawabi kebutuhan pemimpin dan kelompoknya.  ********

Tidak ada komentar:

<marquee>WTM LAKUKAN VAKSIN AYAM DI 3 KELOMPOK TANI DI EGON GAHAR</marquee>

Ansel Gogu (Kader Tani WTM) sedang Vaksin ayam anggota Kel. Tani Egon Gahar, KN , Dalam rangka mendorong sebuah pola budi daya ternak t...