Herry Naif, Direktur WALHI NTT (2011-2016) dan Koordinotor Program WTM-CEPF |
Beberapa penyebab kemerosotan kualitas lingkungan di Indonesia, seperti destructive logging, ekspansi industri pertambangan, reklamasi pantai, konversi kawasan hutan menjadi lahan perkebunan. Ke-semua-nya diidentifikasi sebagai aktivitas yang terberi dari kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang tidak berpihak pada nilai-nilai eco-humanis.
Berbeda dengan Kawasan lindung Egon Ilimedo di wilayah kabupaten Sikka. Kawasan ini merupakan salah satu kawasan hutan lindung terbesar yang memiliki luas 19.456,80 ha atau 78,6% dari total luas kawasan hutan Kabupaten Sikka 24,738,43 ha. Kawasan ini mencakupi tiga kecamatan yakni, Waigete, Mapitara dan Doreng. Bagi Warga yang berada di sekitar kawasan hutan Egon Ilimedo telah menjadikan sebagai susu dan madu bagi hidupnya.
Bagi masyarakat Sikka umumnya kawasan ini adalah paru-paru kabupaten Sikka. Pemberian alam seutuhnya dijadikan sebagai hakikat dasar dalam pengelolaan sumber daya alam. Mereka menjadikan alam sebagai pusat hidup mereka (kosmosentris).
Tidak heran bila warga pada empat (4) desa, yakni: Natakoli, Egon Gahar, Hale dan Hebing berusaha mempertahankan hidup dan eksistensinya (struggle for life and struggle for existence) di tengah perdebatan akan tapal batas yang berdampak pada ruang kelola mereka. Hutan menjadi sebuah ruang penting bagi kehidupan manusia yang mana memberi nilai keseimbangan ekologi.
Fungsi dan peran kawasan Egon seharusnya memberikan layanan ekologis yang baik dan nyaman mulai terganggu. Hal ini disebabkan berbagai aktifitas, seperti: perambahan hutan, ladang berpindah dengan sistem tebas-bakar, dan tidak adanya teras sering di lahan yang miring berdampak pada menurunnya dukungan dan layanan kawasan Egon.
Pada kawasan ini juga sering terjadi erosi, banjir dan menurunnya debit air di beberapa sumber mata air. Selain itu, Iklim mikro di wilayah ini pun terganggu. Padahal iklim mikro dibutuhkan untuk memberi kenyamanan pada manusia dan perkembangan tanaman yang lebih baik pada wilayah yang terbatas, khususnya kawasan Egon Ilimedo maupun kabupaten Sikka.
Permasalahan utama di kawasan Egon adalah terjadinya perambahan hutan atau pembukaan lahan kebun dalam kawasan hutan dan penebangan pohon (destructive logging).
Fungsi dan peran kawasan Egon seharusnya memberikan layanan ekologis yang baik dan nyaman mulai terganggu. Hal ini disebabkan berbagai aktifitas, seperti: perambahan hutan, ladang berpindah dengan sistem tebas-bakar, dan tidak adanya teras sering di lahan yang miring berdampak pada menurunnya dukungan dan layanan kawasan Egon.
Pada kawasan ini juga sering terjadi erosi, banjir, longsor dan menurunnya debit air di beberapa sumber mata air.
Selain itu, Iklim mikro di wilayah ini pun terganggu. Padahal iklim mikro dibutuhkan untuk memberi kenyamanan pada manusia dan perkembangan tanaman yang lebih baik pada wilayah yang terbatas, khususnya kawasan Egon Ilimedo maupun kabupaten Sikka.
Permasalahan utama di kawasan Egon Ilimedo adalah terjadinya perambahan hutan atau pembukaan lahan kebun dalam kawasan hutan dan penebangan pohon (destructive logging).
Dari catatan Dinas Kehutanan Sikka, aktifitas perambahan ini dilakukan hampir setiap saat dan berdampak luas pada rusaknya 280 ha hutan di Kecamatan Mapitara wilayah Egon Ilimedo desa Hale (130 Ha), Egon Gahar 100 Ha, Natakoli (50 Ha) yang menimbulkan debit 8 mata air menurun yaitu mata air, Wair Oridar, Napun Urut (Natakoli), Napun Ewa, rejo gajot (Egon Gahar) Napun Dagar (Hebing), Wair Heni, Wari Boto (Hale). Pada Wilayah desa Hale, Hebing dan Egon Gahar, perambahan sudah mendekati puncak Gunung Egon.
Beberapa gagasan dan permasalahan yang diungkap di atas, Wahana Tani (WTM) dalam kerja samanya dengan Critycal Ecosystem Partnership Fund (CEPF) dan Burung Indonesia melalui Program “Improving Ecosystem Manajemen and Livehoods Arround Mt. Egon” yang berkelanjutan di kawasan Egon Ilimedo dan bersama beberapa stakeholder di Kabupaen Sikka akan dilakukan Gerakan Penyelamatan Sumber Mata Air. Untuk itu, diselenggarakan gerakan penyelamatan sumber mata air di delapan (8) titik mata air di Kecamatan Mapitara.
Gerakan ini melibatkan para pihak (Stakeholder), seperti: (UPT Kesatuan Kehutanan, Dinas Lingkungan Hidup, Tagana, Koramil Bola, Pemerintah Kecamatan Mapitara, empat (4) Pemerintah Desa (Hale, Natakoli, Egon Gahar dan Hebing), OMK Paroki Hebing) dan Puskesmas Mapitara. Gerakan ini hendaknya mampu menularkan gerakan cinta lingkungan kepada masyarakat Mapitara dan menjadikan konservasi sumber mata air dan lingkungan sebagai bagian dari kehidupan mereka.
Sebetulnya kegiatan ini dirayakan pada hari Valentine’s Day pada 14 Februari lalu sesuai dengan tradisi Gerejani yang mana diperingati sebagai hari kasih-sayang (berbagi kasih) antar remaja atau dalam keluarga tetapi momentum tahun ini, WTM bersama para stakeholder dan warga Mapitara menamainya “Green Valentine’s Day”. Kasih sayang warga dan Pemkab Sikka dicurahkan pada kawasan Egon Ilimedo.
Tujuan yang ingin dicapai dalam kegiatan tersebut diantaranya: (1) Memotivasi masyarakat Mapitara untuk konservasi tanah dan air bagi kehidupan masyarakat Mapitara; (2) Mengkonsolidasi para pihak yang berkaitan dengan isu penyelamatan lingkungan hidup; (3) Membangun paradigma penyelamatan ekologi kepada para pengambil kebijakan lokal di kecamatan Mapitara; (4) Perubahan paradigma pengurusan lingkungan hidup di tingkat pemerintah desa.
Diharapkan bahwa kegiatan ini memiliki dampak riil bagi warga dan pemerintahan lokal, diantaranya; (1) Terbangunnya kesadaran ekologis untuk melestarikan lingkungan hidup; (2) Terkonsolidasinya para pihak yang berkaitan dengan isu penyelamatan lingkungan hidup; (3) Terbangunnya paradigma penyelamatan ekologi kepada para pengambil kebijakan lokal di kecamatan Mapitara; (4) Perubahan paradigma terhadap proses pengurusan lingkungan hidup di tingkat pemerintah desa dan Kabupaten.
Seiring dengan pelaksanaan kegiatan ini, sedang dilakukan Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan akan dilakukan workshop Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA) serta Penyusunan Peraturan Desa (PERDES) pada 4 desa (Natakoli, Egon Gahar, Hale dan Hebing).
Penyusunan Peraturan Desa (Perdes) itu dimaksud untuk mengatur tentang proses dan pengelolaan sumber daya alam berdasarkan potensi dan analisa resiko yang akan ditimbulkan.
Lebih dari itu diharapkan peraturan desa sebagai jawaban penyelesaian atas beberapa permasalahan lingkungan yang terjadi, misalnya mengatur tentang mekanisme pengelolaan sumber daya alam dan penyelesaian soal pembebasan kawasan mata air sebagai kawasan terlindung dan berbagai hal lain yang berkaitan dengan lingkungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar