"Hak Perempuan atas Anggaran untuk Menjamin Ketahanan Pangan dalam Menghadapi Dampak Negatif Perubahan Iklim" menarik untuk disimak sebagai wujud penghormatan terhadap hak perempuan dan advokasi kebijakan daerah untuk mendorong kemandirian pangan dengan mengutamakan pemulihan ekologi.
Satu dekade terakhir ini, Indonesia termasuk NTT terus digebuki banyak kejadian bencana. Menjadi topik yang dibicarakan media ataupun rakyat dalam lingkup mereka. Keberadaan wilayah Indonesia di antara pertemuan tiga lempeng tektonik (Eurosia, Pasifik dan Australia) menyebabkan Indonesia rawan akan berbagai jenis bencana. Beberapa pengalaman kebencanaan kemudian mendorong negara untuk memproduksi landasan normatif mengatur penanggulangan bencana. Kemudian dipertegas dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, diturunkan dalam berbagai peraturan pelaksana lainnya.
Hal ini menunjukkan pemerintah serius dan komit dalam upaya penanggulangan bencana. Walau kenyataan, komitmen ini banyak digugat karena korban bencana masih tinggi. Artinya bahwa aturan yang ada tidak untuk mencegah terjadinya bencana, tetapi menjadi sistem dan mekanisme untuk mengurangi dampak, yang seharusnya termasuk menghadapi dampak perubahan iklim.
Perubahan Iklim dan Kebijakan Pangan
Bicara perubahan iklim berarti kita bicara lingkungan, yang saat ini dipenuhi masalah kalau tidak mau dikatakan krisis lingkungan. Akar masalahnya, bagi Indonesia dan NTT pada khususnya disebabkan belum maksimalnya kebijakan pengurusan sumberdaya alam. Ada kesan, yang dimandati mengurus sumberdaya alam lebih mengedepankan kepentingan ekonomi daripada kepentingan ekologi, sosial dan budaya. Akibatnya, kelompok tertentu saja yang menguasai keuntungan pengelolaan sumberdaya alam. Hak Pengelolaan Hutan (HPH), Kontrak Karya Pertambangan, Hak Pengelolaan Pesisir dan Perikanan (HP3), dan sebagainya adalah mekanisme formal untuk mengeksploitasi sumberdaya alam mulai dari pegunungan, hutan, perkebunan, pemukiman, pesisir, dan laut atas nama investasi.
Masyarakat sekitar lokasi-lokasi konsesi sumberdaya alam pada umumnya tidak banyak dilibatkan dalam pengelolaan. Dalam banyak kasus, mereka menjadi korban penggusuran, pemaksaan dan pelanggaran HAM. Sumber-sumber penghidupan rakyat diposisikan sebagai sumberdaya yang hanya dikuasai negara. Rakyat dijadikan sebagai subyek penonton kebijakan, partisipasi rakyat diabaikan.
Faktanya, seluruh proses ini sangat lamban menghantar rakyat menuju kesejahteraan. Sektor pertanian, peternakan dan pariwisata yang bersentuhan dengan kebutuhan dan kepentingan rakyat gagal dikembangkan. Praktek pertanian dan peternakan yang ada di hampir semua wilayah NTT bukan hasil pembekalan atau pelatihan karena perkembangan teknologi, tetapi warisan nenek moyang. Lalu, ada persoalan dengan 'perladangan gilir balik' yang katanya merusak lingkungan. Sebaliknya, sistem pertanian ini diakui oleh sebagian besar masyarakat NTT, setelah mempelajari perilaku lingkungan. Lahan dikelola, kemudian dilepas untuk mengembalikan kesuburan tanah, dan dikelola lagi setelah beberapa tahun.
Dalam konteks sekarang, perladangan 'gilir balik' ini tidak kontekstual karena pertambahan penduduk yang akan berpengaruh pada jarak, waktu, dan luas lahan garapan. Sejajar dengan Thomas Robert Maltus dalam essay on population yang berteori bahwa pertambahan penduduk berpola deret ukur, sedangkan pertumbuhan pangan berpola deret hitung. Karena itu, pada suatu keadaan jumlah penduduk lebih besar dari pasokan pangan dan kelaparan menjadi sebuah keniscayaan.
Permasalahan inilah yang mesti dijawab dalam pengembangan pertanian di wilayah NTT, sehingga petani tidak divonis salah tanpa sebuah solusi. Bukankah, kita memiliki penyuluh pertanian yang mampu memberi alternatif solusi? Lebih parah lagi jika alokasi budget bagi sektor-sektor ini jauh di bawah sektor-sektor lain. Terkesan sekadar melakukan seremoni food summit yang belum ada hasilnya. Julukan propinsi jagung masih menuai gagal panen. Dan tanpa didasari pada sebuah evaluasi program dan kajian yang eviden, Badan Ketahanan Pangan Provinsi NTT harus meminta beras 3900 ton kepada pemerintah pusat untuk mengatasi krisis pangan NTT. Ironis propinsi jagung diinfus beras.
Menghindari perdebatan panjang, kita lalu 'menjual' hak kelola SDA pada pemilik modal dalam negeri maupun asing, melalui investasi pertambangan dan berbagai eksploitasi lainnya. Di mana-mana ada pertambangan, seakan menjadi leading sektor dari sektor pertanian, peternakan, pariwisata yang puluhan tahun menghidupi NTT. Bahwa rendahnya pendapatan dari beberapa sektor ini akan ditutupi dengan investasi pertambangan dan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pemkab TTU mengeluarkan 82 Ijin Usaha Pertambangan (IUP) Mangan yang akan melahap habis lahan pertanian rakyat. Manggarai telah mengeluarkan 28 SK Pertambangan yang bisa menggusur tanaman kopi unggulan. Pemkab Manggarai Barat 8 SK Pertambangan yang dapat berdampak pada rusaknya keindahan Labuan Bajo dan pulau-pulaunya. Padahal, spesies komodo yang langka ini sedang dipromosikan menjadi the seven wonders di dunia, yang telah terbukti menghadirkan 2500 wisatawan asing menghadiri Natal sekaligus berwisata di Labuan Bajo (Pos Kupang, 28/12/2009). Gubernur NTT mengeluarkan SK No. 14/2008 tentang Penyelidikan Umum yang melintasi 4 kabupaten di Pulau Sumba dan melakukan MoU (Memorandum of Understanding) dengan beberapa investor untuk melakukan pertambangan di beberapa kabupaten di Pulau Timor.
Sementara menyikapi bencana banjir di desa Skinu, Kabupaten TTS, diimbau agar masyarakat menjaga kelestarian lingkungan. Atau dalam kasus pencemaran Laut Timor oleh Perusahaan Montara, kita berjuang untuk ganti rugi atas kerusakan biota laut akibat pencemaran tersebut. Apakah, perjuangan ini sungguh dilandasi oleh gagasan pemulihan ekologi?
Melalui skema ekonomi neo-liberal, secara politik kita sedang menyerahkan sebagian besar kekuasaan kepada pemilik modal. Pemodal akan dapat mengatur peruntukan pengelolaan sumberdaya alam untuk kepentingan mereka. Sektor swasta dengan mudah menyetir/mengontrol kebijakan-kebijakan pengelolaan sumberdaya alam. Yang tidak disadari, skenario ini tamak, dan akan dengan gampang masuk pada kondisi daerah yang memiliki sistem buruk, korupsi merajalela, managemen terpusat, kurangnya strategi pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan, kurangnya kesadaran politik dan publik, institusi-intitusi yang sukar beradaptasi satu sama lain, kegagalan mengikutsertakan para pihak dalam pengambilan dan implementasi keputusan, serta mandeknya penegakan hukum. Hal-hal inilah yang menyebabkan degradasi lingkungan semakin tidak terkendali.
Pengelolaan Sumber Daya Alam
Pra-syarat yang perlu dilakukan dalam pengelolaan sumberdaya alam yang berkeadilan dan berkelanjutan adalah adanya kebutuhan melakukan pendekatan bioregion untuk keberlanjutan dan keselamatan manusia. Undang-undang Pengelolaan Sumberdaya Alam telah disetujui dan diimplementasikan untuk mengakhiri pengelolaan sektoral dan administratif. Kebutuhan mendasar umat manusia akan sumber pangan, kesehatan, dan pendidikan perlu dikedepankan dengan tetap mengakui kearifan lokal masyarakat yang selama ini eksis di berbagai tempat di Indonesia dan NTT pada khususnya.
Karena itu, dalam pengelolaan sumber daya alam (PSDA) pemerintah hendaknya memperhatikan beberapa pilar. Pertama, pertimbangan ekologi hendaknya menjadi poros kebijakan lingkungan yang bercita-cita mengurangi dampak buruk aktivitas manusia. Bukan sekadar menyelamatkan kehidupan manusia melainkan mengubah pola pikir antroposentrik yang mendudukkan manusia sebagai pusat segalanya dan segala potensi pun dipersembahkan baginya.
Kedua, keadilan sosial (social equality dan economic justice) hendaknya dicerminkan sebagai penolakan terhadap berbagai diskriminasi yang dilahirkan misalnya: perjuangan kelas, gender, etnisitas. Dan ketidakadilan sosial menjadi sumber perusakan lingkungan hidup.
Ketiga, kerakyatan. Artinya pengelolaan sumberdaya alam hendaknya memposisikan rakyat sebagai penikmat, tidak dipinggirkan dari proses-proses kebijakan terutama yang berkorelasi dengan akses dan kontrol.
Keempat, pengelolaan sumberdaya alam hendaknya mengaktifkan dan menyeimbangkan feeling, acting, dan thinking. Setiap individu bisa merasakan nilai keagungan inisiasinya. Secara konseptual ini didorong untuk melahirkan visi bersama dengan memahami apa yang menjadi penting (definisi) serta menemukan dan mengapresiasi apa yang telah ada dan tentunya itu terbaik (discovery), menemukan apa yang semestinya ada (dream), menstrukturkan apa yang ada (design) dan merawatnya hingga menjadi ada (destiny) sehingga hasilnya akan melampaui dari apa yang dinginkan dan sangat sinergi dengan konteks realitas dalam kehidupan.
Perempuan dan Kebijakan Pangan
Dalam berbagai kenyataan masih terjadi ketidakkesetaraan gender. Seharusnya, perempuan adalah subyek dalam realitas kehidupan manusia, namun masih diposisikan sebagai warga kelas dua. Hak perempuan seringkali dilanggar dan dipinggirkan. Beberapa argumentasi yang mendukung kondisi ini, antara lain daerah (baca:NTT) dipengaruhi oleh budaya patriarki, di mana laki-laki menjadi kunci dalam pengambilan keputusan baik konteks rumah tangga maupun masyarakat. Atau, budaya yang cenderung 'male cauvanistic' di mana kaum laki-laki masih menganggap dan dianggap sebagai makhluk yang kuat dan superior.
Dari pengalaman pelatihan pengurangan resiko bencana dalam perspektif gender yang dilakukan Wahana Tani Mandiri (WTM) kerja sama dengan Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial (YPPS), pada April 2009, ternyata peranan perempuan sangat minim dibanding dengan kaum laki-laki. Laki-laki seolah penguasa mulai dari kepemilikan aset hingga tataran kebijakan. Padahal dari sisi peran, perempuan memiliki beban kerja yang sangat tinggi, mulai dari mengurus rumah tangga hingga urusan produksi. Perempuan tidak dilibatkan dalam proses pembahasan kepemilikan lahan, pengelolaan dan diskusi-diskusi perencanaan pembangunan. Kalau pun ada, hanya menjadi pelengkap administrasi.
Perempuan harus memiliki akses dan kontrol terhadap kebijakan pangan yang memihak kepada peningkatan daya tahan perempuan menghadapi dampak buruk perubahan iklim. Menguatnya ketahanan pangan perempuan (juga rumah tangga miskin dan petani) sepatutnya menjadi prioritas kebijakan pangan, karena kelompok inilah yang paling merasakan dampak krisis pangan dan harga pangan karena anomali iklim yang terjadi.
"Datanglah kepada rakyat, Tinggalah bersama mereka, dan mulailah dari apa yang mereka punya" (Lao Tse).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
<marquee>WTM LAKUKAN VAKSIN AYAM DI 3 KELOMPOK TANI DI EGON GAHAR</marquee>
Ansel Gogu (Kader Tani WTM) sedang Vaksin ayam anggota Kel. Tani Egon Gahar, KN , Dalam rangka mendorong sebuah pola budi daya ternak t...
-
PROGRAM : PENINGKATAN PENDAPATAN MASYARAKAT DALAM MENDUKUNG MANAJEMEN EKOSISTEM BERKELANJUTAN DI KAWASAN EGON 1. LATAR BELAKANG ...
-
Secara historis-kultural, padi merupakan sebuah tanaman yang diyakini sebagai dewi. Atau dalam sebutan orang sikka dua nalu pare...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar