Dalam kehidupan manusia, hutan dan air merupakan sesuatu yang sungguh dibutuhkan untuk mendukungnya dalam mencapai hidup layak. Tanpa hutan dan air manusia bisa mati kekeringan. Hutan dan Air memiliki hubungan intim yang tak bisa dipisahkan. Atau, hutan dan air memiliki relasi timbal balik.
Hutan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan memiliki 3 (tiga) fungsi diantaranya: fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi (ekonomi).
Sedangkan air adalah unsur hakiki bukan saja bagi manusia melainkan juga bagi tanaman dan hewan. Tiada kehidupan tanpa air. Dulu, krisis air adalah permasalah perkotaan. Kini, krisis air tanpa mengenal sekat wilayah, baik di daerah kota maupun daerah hulu seiring dengan masifnya kerusakan lingkungan di kawasan hutan (kawasan resapan).
Gencarnya eksploitasi (pengambilan) sumber daya alam besar-besaran, seperti penebangan hutan, destructive logging, pertambangan, perluasan pemukiman terus menerus menyebabkan sempitnya luasan kawasan dan menurunnya kualitas hutan. Semua fakta ini tengah berdampak buruk pada keselamatan lingkungan dan manusia.
Dari pemahaman sederhana ini, dilihat betapa pentingnya hutan dan air. Keduanya menjadi aset yang harus dimiliki petani dalam mendukung pengelolaan pertanian berkelanjutan. Ironis, bila petani tidak punya tanah dan tidak menjaga hutan dan air untuk menciptakan kehidupan yang lebih layak.
HUTAN DAN PEMANFAATANNYA
Seturut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyatakan bahwa Kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu. Atau, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan.
“Kawasan hutan adalah wilayah tertentu dan/atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaanya sebagai hutan tetap” (lih. pasal 1). Dari pemahaman ini juga dapat dimaknai bahwa hutan menjadi penting bagi kehidupan manusia. Hutan harus dilindungi untuk sebuah kehidupan yang layak.
Hakikatnya, hutan memiliki 3 (tiga) fungsi diantaranya: fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi.
Berasas pada tiga fungsi ini maka seluruh aktifitas dalam kawasan hutan harus diasaskan pada prosedur hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 19, Undang-undan No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, ayat 1-3 bahwa;
- Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh Pemerintah dengan didasarkan pada hasil penelitian terpadu.
- Perubahan peruntukan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis, ditetapkan oleh pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
- Ketentuan tentang tata cara perubahan peruntukan kawasan hutan dan perubahan fungsi kawasan hutan sebagaimana dimaksud ada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan, (Pasal 2). Penyelenggaraan Kehutanan bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan;“Menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional; Mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi yang seimbang dan lestari; Meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai; Meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; dan Menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Seturut Pasal 68, Selain hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masyarakat dapat:
- Memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
- Mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan, dan informasi kehutanan;
- Memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan; dan
- Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung.
Untuk mempertegas akses dan kontrol rakyat terhadap kawasan maka dikeluarkannya Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.14/Menhut-RI/2006 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Pinjam pakai kawasan hutan adalah penggunaan atas sebagian kawasan hutan kepada pihak lain untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah status, peruntukan dan fungsi kawasan tersebut (Pasal 1).
Beberapa pasal yang dikemukakan itu, hakikatnya pengelolaan hutan dilihat dalam satu kesatuan, yang dikenal dengan pengelolaan lingkungan hidup yang dimuarakan pada kesejahteraan rakyat. Hal penting yang harus diperhatikan adalah bahwa hutan yang ada bukanlah warisan nenek moyang yang seenaknya digunakan melainkan perlu dicatat bahwa hutan merupakan titipan dari generasi yang akan datang, sehingga dalam memanfaatkannya harus diperhatikan kelangsungan dan kelestariannya agar dapat digunakan generasi yang akan datang.
Kerusakan lingkungan hidup (hutan) dapat disebabkan faktor proses alam dan karena aktivitas manusia. Penurunan kualitas dan penurunan kuantitas hutan berdampak pada terjadinya “bencana ekologi”.
AIR DAN PERMASALAHANYA
Air merupakan material yang vital bagi kelangsungan hidup seluruh makhluk hidup di bumi, sebagaimana dinyatakan oleh Enger dan Smith: "Semua organisme yang hidup tersusun atas sel-sel yang berisi air sedikitnya 60% dan aktivitas metaboliknya mengambil tempat di larutan air". Selanjutnya, tokoh dunia Goethe pernah menyatakan: "Everything originated is the water. Everything is sustained by water."
Pada Tahun 2002, Komite Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (dalam Komentar Umum No. 15, secara tegas memberikan penafsiran tentang pasal 11 dan pasal 12 dari Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya bahwa hak atas air adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari hak-hak asasi manusia lainnya.
Persaingan atas sumber daya air, baik dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari (konsumen rumah tangga) maupun kebutuhan irigasi dan lainya sering hanya menguntungkan para penguasa dan pemodal. Mereka yang tak berdaya (rakyat) terlantar dan kehausan.
Misal, banyak warga kota Maumere mengeluh karena sering tidak mendapatkan distribusi air. Padahal ada lembaga daerah yang ditugaskan mengurus pemenuhan air bagi warga, seperti Perusahan Daerah Air Minum (PDAM). Ada pula lembaga yang didanai World bank seperti Pansinmas. Mengherankan, kondisi ini kemudian melahirkan begitu banyak perusahaan air minum (swasta) yang mengambil air tanah dan dijadikan sebagai lahan bisnis.
DAMPAK KERUSAKAN HUTAN
Menurunnya Debit Air/Krisis Air
Kerusakan hutan yang dimaksud adalah terjadinya perubahan fisik, sifat fisik, atau hayatinya, yang meyebabkan hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan fungsinya. Bahwa dengan kerusakan tersebut berpengaruh terhadap perubahan tata hidrologi air.
Kegiatan pengelolaan hutan yang mempunyai dampak terhadap kehidupan bangsa, misalnya penebangan liar, pencurian kayu, penyelundupan kayu, perambahan hutan, dan penambangan dalam kawasan hutan.
Berhadapan dengan berbagai persoalan tersebut hanya sedikit orang yang menganalisis bahwa keterbatasan air dan pangan diakibatkan kondisi ekologi, terutama kesimbangan ekologi yang mana makin sempitnya kawasan penyanggah di setiap pulau. Ini diperparah dengan merebaknya dampak pemanasan global (global warming) dan perubahan iklim (climate change).
Lebih jauh ditelusuri, NTT yang merupakan gugus pulau api (ring of fire) yang sangat kecil. Ini dituntut agar benar memiliki kawasan penyangga yang cukup seimbang.
Dari waktu ke waktu debit air pada sumber-sumber mata air yang ada di kampung semakin menurun dan ketersedian air tanah semakin dalam. Beberapa tahun lalu dengan kedalaman 5-10 meter orang sudah mendapatkan mata air tetapi kini harus melebihi 10 meter. Fakta-fakta ini adalah permasalahan kongkret yang menandakan bahwa ada kerusakan dan penurunan kualitas hutan kita. Semua ini terjadi akibat semakin menyempitnya luas kawasan hutan dan menurunya kualitas hutan kita. Sebab prinsipnya, hutan dan air itu selalu seiring. Hutan rusak maka terjadi krisis air.
Dari pemahaman ini, NTT yang berkarakter kepulauan dan termasuk kawasan ring of fire, rentan terhadap kekeringan/kelangkaan air.
Iklan “sumber air su dekat, kotong sonde terlambat lagi adalah sebuah ungkapan yang ironis bagi masyarakat Timor dan NTT pada umumnya. Di tengah kegentingan ekologi, pemerintah provinsi NTT dan pemerintah kabupaten mengobral Ijin Usaha Pertambangan. Kebijakan ini dinilai tidak sinkron dengan paradigma pengurangan resiko bencana dan Penyelamatan lingkungan
Banjir
Banjir dapat terjadi karena murni gejala alam dan juga karena dampak dari ulah manusia sendiri. Banjir dikatakan sebagai gejala alam murni jika kondisi alam memang mempengaruhi terjadinya banjir, misalnya hujan yang turun terus menerus, terjadi di daerah basin, dataran rendah, di lembah-lembah sungai.
Banjir dapat juga disebabkan karena ulah manusia. Misalnya, karena penggundulan hutan di kawasan resapan, timbunan sampah yang menyumbat aliran air, ataupun karena rusaknya dan atau pintu pengendali aliran air. Kerugian yang ditimbulkan akibat banjir, antara lain, hilangnya lapisan permukaan tanah yang subur karena tererosi aliran air, rusaknya tanaman, dan rusaknya berbagai bangunan hasil budidaya manusia.
Tanah Longsor
Karakteristik tanah longsor hampir sama dengan karakteristik banjir. Longsor dapat terjadi karena proses alam atau pun karena dampak kecerobohan manusia.
Longsor dapat merusak struktur tanah, merusak lahan pertanian, pemukiman, sarana dan prasarana penduduk serta berbagai bangunan lainnya.
TAWARAN SOLUSI
Krisis air dilihat sebagai ancaman bersama yang dijadikan refleksi dan evaluasi terhadap kualitas ekologi.
Prinsipnya hutan, tanah dan air harus dilihat dalam satu kesatuan yang utuh. Hutan harusnya dilihat sebagai pelayan alam dan air adalah darah kehidupan serta tanah adalah daging.
Dari analogi ini ketiganya menjadi bagian dari hidup manusia yang tak terpisahkan. Proses pemulihan ekologi melalui perluasan wilayah kawasan penyanggah dan perbaikan atas sistem pertanian berkelanjutan perlu mendapat perhatian serius pemerintah.
KESIMPULAN
Vandhana Shiva, seorang aktivis lingkungan dunia yang gencar menyoal privatisasi air dalam bukunya Water Wars: Privatisasi, Profit dan Polusi (2003). Budaya ekologi adalah budaya untuk pelestarian dan pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat, sehingga air sebagai salah satu sumber daya alam adalah milik publik yang dapat dipergunakan oleh seluruh umat manusia dengan bebas dan gratis. Sementara, budaya kapitalisme adalah budaya yang mengabdi pada kepentingan orang beruang, di mana segala sesuatu di lihat dar keuntungan ekonomis. Air tak ubahnya barang di pasar yang siap untuk diperjual belikan.
Sedangkan dalam konteks di Sikka analisis difokuskan beberapa rekomendasi aktifitas penting yang perlu dilakukan adalah: Monitoring dan evaluasi terhadap kualitas kawasan lindung dan hulu yang ada di kabupaten Sikka agar diketahui kondisinya.
Perlu penanaman kembali pada kawasan yang dinilai rusak dan hendaknya ini menjadi gerakan bersama rakyat. Rakyat harus dilibatkan secara penuh dan diberi tanggung jawab. Rakyat yang sukses menghijaukan dan menjaga wilayahnya perlu diberi apreseasi dana stimulan.
Dari beberapa catatan ini, mau dikatakan bahwa Orang Sikka sejak dulu selalu hidup bersama alam dan selalu menjaga alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar